Bismillahirohmanirohim.
Assalamu'alaikum wr. wb. Salam Nusantara!
Konstelasi pemilu 2024 telah mulai terasa. Saat
ini, pada tanggal 20 Mei, sudah ada tiga bakal calon presiden yang diusung oleh
berbagai partai dan siap berkompetisi dalam pemilihan presiden tahun depan.
Jika kita melihat di media sosial, para
pendukung bakal calon presiden, simpatisan, dan buzzer telah membanjiri
platform tersebut dengan isu-isu politik. Mereka menggunakan berbagai strategi
untuk mengangkat calon yang didukungnya dan sekaligus mencemarkan citra calon
lawannya. Ketika saya menyebut buzzer di tulisan ini, saya tidak hanya merujuk
pada buzzer bayaran yang semakin marak belakangan ini. Bagi saya, pekerjaan
mereka adalah hal yang wajar selama mereka tidak menyebarkan ujaran kebencian,
hoaks, atau kebohongan publik. Yang saya maksud dengan buzzer di sini adalah
tokoh-tokoh publik, aktivis, atau selebritis yang menggunakan pengaruh mereka
untuk mendukung calon pilihan mereka dan mencoba menjatuhkan lawan politiknya.
Sebagai penegasan, tulisan ini sebenarnya bukan
untuk mendukung salah satu calon atau kelompok tertentu. Saya lebih tertarik
pada edukasi publik dalam menghadapi isu-isu yang beredar, sehingga kita tidak
terjebak dalam perangkap isu politik yang bisa mempengaruhi pemilihan kita.
Tujuan saya adalah agar kita semua menjadi cerdas dalam memilih isu yang benar
dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan kita nantinya.
Salah satu isu yang ingin saya angkat saat ini
adalah tentang kritik terhadap pembangunan infrastruktur yang dianggap gagal
selama pemerintahan Jokowi. Narasi yang berkembang adalah bahwa pembangunan
infrastruktur, terutama jalan raya, tidak tepat sasaran. Mereka berpendapat
bahwa banyak jalan yang rusak di berbagai wilayah di negeri ini. Mengapa isu
ini diangkat? Hal ini disebabkan oleh viralnya kritik terhadap pemerintahan
daerah di Lampung karena banyaknya jalan rusak yang tidak diperbaiki selama
bertahun-tahun.
Narasi yang berkembang menyatakan bahwa
banyaknya jalan rusak di daerah adalah kesalahan pemerintah pusat dalam
prioritas kebijakan pembangunan infrastruktur jalan. Sehingga, masih banyak
jalan yang rusak bukan hanya di Lampung, tetapi juga di daerah lain. Namun,
apakah narasi tersebut benar dan dapat dijadikan dasar untuk menyalahkan
pemerintah pusat dalam prioritas pembangunan?
Saat ini, kita telah mengadopsi sistem otonomi
daerah, yang mengatur pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah
pusat dan daerah. Hal ini juga berlaku dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan
raya. Kita mengenal istilah jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
kabupaten/kota. Mengapa ada pembagian tersebut? Ini karena adanya tugas dan
tanggung jawab yang terbagi dalam pembangunan dan pemeliharaan jalan. Jadi,
ketika ada jalan yang rusak, harus dilihat terlebih dahulu apakah itu jalan
nasional, provinsi, atau kabupaten/kota. Jika jalan yang rusak adalah jalan
provinsi, maka seharusnya pemerintah daerah yang harus diperiksa dan menjadi
sorotan atas kegagalannya.
Namun, dalam berbagai narasi yang beredar,
terkesan seolah-olah semua jalan rusak dan kurangnya akses jalan di semua
daerah adalah tanggung jawab presiden saat ini. Tentu saja, narasi seperti ini
tidak bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada rakyat dalam memilih pemimpin
di masa depan. Dengan melemparkan seluruh tanggung jawab kepada pemerintah
pusat, masyarakat menjadi tidak menyadari bahwa seharusnya mereka mengkritisi
pemerintah daerah, yang mungkin gagal dalam membangun infrastruktur tersebut
dan justru menjadi kelompok yang menyerang pemerintah dengan isu ini. Isu-isu
semacam ini harus dihadapi dengan kritis oleh masyarakat kita, agar masyarakat
tidak terkecoh oleh narasi-narasi yang tidak berdiri dan hanya bertujuan untuk
memperbodoh kita.
Sebagai catatan, jika para politisi pendukung
Anies Baswedan ingin menjadikan calon mereka sebagai antitesis dari
pemerintahan Jokowi, sebaiknya tidak menggunakan isu infrastruktur. Mengapa?
Karena jika hal itu dilakukan, justru akan menjadi blunder. Jika ada yang
percaya atau menerima narasi ini, tentu mereka kurang memiliki intelektualitas
yang memadai. Karena secara jujur, dalam hal pembangunan infrastruktur, Anies
tidak lebih baik dari Jokowi. Sebagai contoh di Jakarta, pada masa kepemimpinan
Jokowi dan Ahok, pembangunan infrastruktur jauh lebih baik. Jalan-jalan
diperbaiki dan menjadi bagus, bahkan gang-gang pun ikut diperhatikan. Begitu
pula di wilayah tempat saya tinggal, seperti Jagakarsa, Ciganjur, dan Cipedak.
Hampir setiap tahun jalan-jalan yang rusak selalu diperbaiki dengan baik,
sehingga sangat jarang ada jalan rusak yang tidak diperbaiki selama waktu yang
lama. Namun, di era Anies, jalan-jalan atau gang-gang di wilayah saya tidak
pernah diperbaiki, meskipun RT/RW sudah mengajukan permohonan bantuan untuk
perbaikan infrastruktur, baik itu jalan yang rusak maupun saluran air. Sehingga
masyarakat harus berswadaya untuk memperbaikinya sendiri. Bahkan kondisi di
gang kami semakin memburuk dengan pembuatan sumur resapan yang dibangun dengan
sembarangan. Akibatnya, dari tujuh atau delapan sumur resapan, hanya dua yang
benar-benar berfungsi dengan baik karena berada tepat di jalur air. Sisanya
hanya membuat jalan menjadi rusak dan tidak rata, serta jalur air sama sekali
tidak masuk ke dalam sumur resapan tersebut.
Sebagai masukan, jika kubu Anies ingin
mengangkat isu yang menjadikan Anies sebagai antitesis Jokowi, sebaiknya bukan
mengenai infrastruktur. Jika masyarakat kita sudah lebih cerdas, hal tersebut
malah akan merugikan Anies, karena dengan jujur, Anies tidak lebih baik dari Jokowi dalam hal ini.
Sebaiknya, isu yang kurang berhasil di era Jokowi seperti reformasi birokrasi,
pendidikan yang merata, kesehatan atau fasilitas kesehatan yang belum merata,
dan pemberantasan korupsi bisa diambil sebagai fokus perdebatan.
Eh, tapi mungkin sulit bagi mereka untuk membahas pemberantasan korupsi karena saat ini mereka sedang sibuk membela pejabat menteri yang diduga terlibat dalam korupsi. Semoga informasi ini bermanfaat.