Proses demokrasi di Indonesia saat ini
didominasi oleh partai politik, hampir semua lini dikuasai oleh orang-orang
dari partai politik, mulai dari eksekutif, legislative, bahkan yudikatif. Di
eksekutif, mulai dari kepala desa, bupati, walikota, gubernur hingga presiden,
sebagian besar dari partai politik. Bahkan kini, banyak birokrat, baik itu
pejabat maupun pegawai di birokrasi, terafiliasi dengan partai politik.
Di parlemen, semua anggota DPR dari partai
politik, bahkan untuk DPD sekalipun, yang seharusnya ada ruang dan bisa diisi
oleh orang non-politikus. Namun, sayangnya hingga saat ini, sebagian anggota
DPD adalah dari partai politik.
Pada dasarnya, demokrasi di Indonesia
memberikan ruang bagi non-partai politik untuk ikut dalam kancah perpolitikan
di Indonesia, terutama dalam pemilihan DPD dan Kepala Daerah. Undang-undang
mengatur calon-calon independen untuk bisa bertarung di sana. Namun, memang
masalah popularitas dan modal politik menjadi kendala.
Dalam masyarakat muslim Indonesia, terdapat
banyak isu politik yang sering kali menjadi dasar pengambilan keputusan tanpa
terkonfirmasi kebenarannya, bahkan hoaks. Beberapa penceramah, ustaz, atau
ulama seringkali mendiskreditkan ideologi non-agama dan menganggap ilmu agama
sebagai solusi atas kemajuan dan kemakmuran bangsa. Sebagai orang yang
menguasai ilmu agama, mereka diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
konstelasi politik melalui partisipasi di posisi DPD atau kepala daerah yang
disediakan oleh undang-undang. Namun, perlu diingat bahwa partisipasi politik
harus dilakukan dengan cara yang benar dan bertanggung jawab, serta memerlukan
kompetensi dan pengalaman yang cukup untuk memimpin masyarakat secara adil dan
efektif.
Anggapan bahwa seorang ulama tidak boleh
berpolitik atau menjadi pemimpin karena adanya hadist bahwa kalau ulama dan
umara bersatu, maka bla..bla..bla tidak sepenuhnya benar. Contohnya, Nabi
Muhammad SAW sendiri berpolitik dan menjadi pemimpin. Khulafaur Rasyidin juga
merupakan ulama sekaligus umara. Bahkan, Umar bin Abd. Aziz, yang merupakan
seorang berilmu atau ulama, juga menjadi pemimpin dan menjadi contoh bagi
banyak orang, dan sering diceritakan kepemimpinannya oleh para penceramah. Oleh
karena itu, sebenarnya tidak ada larangan bagi seorang ulama untuk berpolitik
atau menjadi pemimpin, namun tentu saja mereka harus memenuhi persyaratan dan
tuntutan yang dibutuhkan untuk memimpin dengan baik, adil, dan bertanggung
jawab.
Bagaimana cara para Ulama memperoleh pengaruh
di masyarakat? Di Indonesia, hampir di setiap tingkat masyarakat, mulai dari
tingkat RT, RW, kelurahan dan seterusnya, terdapat majlis taklim. Apabila
majlis taklim ini diisi oleh orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama dan
berfokus pada peningkatan keimanan dan ketaqwaan, maka ini dapat menjadi sarana
yang efektif bagi para Ulama untuk mendapatkan suara dan pengaruh di kalangan
masyarakat.
Jika ada kesepakatan dalam konsep kepemimpinan
dan pengelolaan Negara dalam lingkungan majelis taklim dan komunitasnya, maka
seharusnya majunya para ulama yang di anggap punya kompetensi memiliki
pengetahuan dan solusi untuk ummat/rakyat.
Maka tidaklah sulit untuk mengkoordinasikan dalam lingkungan tersebut
untuk menentukan personal-personal ulama yang akan di pilih, baik untuk DPD
maupun Kepala Daerah.
Selain itu, para ulama juga dapat memanfaatkan
media sosial dan platform digital lainnya untuk menyampaikan bagaimana
menyelesaikan masalah bangsa dan mengembangkan pengaruhnya di kalangan
masyarakat. Dengan menghadirkan konten-konten yang bermanfaat dan relevan
dengan kebutuhan masyarakat, para ulama dapat membangun kredibilitas dan
kepercayaan di kalangan masyarakat. Hal ini dapat membantu para ulama untuk
memberikan pandangan yang tepat mengenai berbagai isu dan persoalan yang sedang
dihadapi masyarakat, serta memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah
tersebut. Dengan demikian, para ulama dapat berperan aktif dalam mengembangkan
masyarakat dan memajukan bangsa secara keseluruhan.
Namun, untuk mendapatkan suara dan pengaruh
yang lebih besar, para Ulama juga perlu menjalin hubungan yang baik dengan
pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di masyarakat, seperti
pemimpin-pemimpin politik dan tokoh-tokoh masyarakat. Dengan cara ini, para
Ulama dapat memperoleh dukungan dan jangkauan yang lebih luas dalam menyebarkan
ajaran agama dan memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam menghadapi pemilu 2024, perlu adanya
upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilihan pemimpin yang
baik dan berkualitas. Salah satu caranya adalah dengan memberikan informasi
yang akurat dan terpercaya mengenai calon-calon yang akan bertarung dalam
pemilu tersebut. Masyarakat juga perlu didorong untuk berpikir kritis dan tidak
mudah terpengaruh oleh isu-isu politik yang tidak jelas sumbernya.
Kita percaya, para ulama memiliki kompetensi
yang memadai dalam hal kepemimpinan dan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan isi
ceramah mereka yang banyak mengklaim bahwa para ulama adalah alternative solusi
bagi masyarakat yang ingin mendapatkan kemajuan dan kemakuran. Sebagai Negara mayoritas muslim harusnya jika
masyarakat percaya hal itu maka bukan tidak mungkin para ulama ini dapat
terpilih.
Dalam upaya untuk memperkuat demokrasi di
Indonesia, peran para ulama dan tokoh agama sangat penting. Namun, perlu
diingat bahwa partisipasi mereka dalam kancah politik harus dilakukan dengan
cara yang benar dan bertanggung jawab. Para ulama harus memahami bahwa di dalam
dunia politik terdapat berbagai kepentingan yang berbeda dan mereka harus dapat
memilih kandidat yang mampu memperjuangkan kepentingan umum dengan cara yang
baik dan benar.
Demikianlah artikel ini, semoga dapat
memberikan gambaran mengenai peran para ulama dalam demokrasi di Indonesia dan
juga memberikan inspirasi bagi kita untuk terus memperjuangkan demokrasi yang
lebih baik di Indonesia.