Total Pageviews

Saturday 6 January 2024

"Peningkatan Kualitas Berpikir: Mebuka Pintu Keterbukaan Ilmu Pengetahuan di Masyaraka

 

Perdebatan terkait nasab Habaib Ba’alawi belakangan ini menyoroti pola berfikir dan pendekatan pemahaman ilmu di Indonesia, khususnya di kalangan Islam tradisional. Baik di antara masyarakat awam maupun kalangan yang dihormati sebagai ulama, sebagian masih cenderung mengedepankan individu dibandingkan dengan substansi ilmunya. Pengkultusan terhadap figur ulama terdahulu pun masih kerap terjadi. Akibatnya, saat ulama kontemporer melakukan kajian atau mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya, seringkali timbul pertanyaan 'Apakah Anda merasa lebih berpengetahuan daripada Syech Nawawi al Bantani?'

 

Perdebatan yang timbul seringkali memusatkan perhatian pada identitas individu ulama yang dikultuskan, daripada pada substansi objek yang sedang dibahas atau dikaji. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, santri, atau para ulama yang diakui.

 

Pengkultusan ini cenderung menimbulkan pola pikir yang sempit, yang membatasi daya berpikir positip dan progresif.  Padahal pada dasarnya ilmu pengetahuan terus berkembang dan jika pola pikir seperti itu tetap di pegang maka akan terjadi kemandegan ilmu pengetahuan, sehingga kalimat yang mengatakan bahwa “hilangnya ilmu di sebabkan karena meninggalnya ulama” akan benar-benar terjadi.  Bayangkan jika hal tersebut terjadi pada lingkungan scientist,  jika Albert Einstein menyampaikan teori relativitas yang berbeda dengan Sir Isaac Newton, lalu para ulama scientist berkata “memangnya siapa kamu? Apa kamu lebih berpengetahuan dari Newton?”  tentu ilmu Fisika tidak akan berkembang seperti sekarang.  Bahwa hilangnya ilmu karena di wafatkannya para Ulama justru menjadi peringatan bagi kita bahwa jika kita mengkultuskan individu dan bukan subtansi keilmuannya maka niscaya ilmu akan stagnan dan mungkin akan habis.

 

Pengkultusan semacam ini cenderung menimbulkan paradigma yang terbatas, yang menghambat kemampuan untuk berpikir secara positif dan progresif. Padahal, realitasnya ilmu pengetahuan terus berkembang, dan apabila pola pikir yang sempit itu dipertahankan, kemungkinan terjadi stagnasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ungkapan yang menyatakan 'kehilangan ilmu karena kematian ulama' bisa menjadi lebih nyata. Bayangkan jika paradigma semacam itu diterapkan pada lingkungan ilmuwan. Jika Albert Einstein, misalnya, mempresentasikan teori relativitas yang berbeda dengan Sir Isaac Newton, dan para ilmuwan bertanya, 'Siapakah Anda? Apakah Anda lebih berpengetahuan daripada Newton?' Tentu saja, ilmu Fisika tidak akan berkembang sejauh ini. Kehilangan ilmu akibat meninggalnya ulama seharusnya menjadi peringatan bagi kita. Jika kita terus mengkultuskan individu dibandingkan substansi keilmuannya, bisa dipastikan bahwa ilmu akan terhenti dan bahkan mungkin habis.

 

Pola pikir yang sempit dalam menerima ilmu pengetahuan di masyarakat kita mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:

 

1.       Tradisi Kultural: Adanya warisan budaya atau tradisi yang menekankan untuk tidak mempertanyakan otoritas, sehingga orang cenderung mengikuti arahan tanpa melakukan analisis atau pemikiran kritis terhadap informasi yang diterima.

 

2.       Kurangnya Pendidikan Pemikiran Kritis: Sistem pendidikan yang tidak memperhatikan pengembangan keterampilan berpikir kritis dalam menyikapi informasi, lebih mengarah pada penghafalan tanpa memahami atau menilai secara objektif.

 

3.       Pengaruh Otoritas Agama: Kepercayaan yang kuat terhadap ulama atau figur agama tertentu bisa mengarah pada pengkultusan, membuat masyarakat merasa takut untuk berfikir atau menentang pendapat yang dianggap otoritatif.

 

4.       Ketakutan akan Kesalahan: Kultur yang memojokkan kesalahan atau merasa takut salah dalam berpikir sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengikuti apa yang sudah diberitahukan daripada mempertanyakan atau berpikir secara mandiri.

 

5.       Kurangnya Akses Pendidikan dan Informasi yang Baik: Terutama di daerah pedesaan atau yang sulit dijangkau, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan atau informasi yang dapat memperluas wawasan dan pemahaman mereka.

 

6.       Kultur Konspirasi dan Fitnah: Adanya kecenderungan mendukung teori konspirasi atau fitnah sebagai penjelasan sederhana atas masalah kompleks, tanpa pertimbangan ilmiah yang kuat.

 

Mendorong pemikiran kritis, meningkatkan akses terhadap pendidikan dan informasi yang baik, serta memberikan kesempatan untuk bertanya dan mempertanyakan tanpa rasa takut adalah langkah awal dalam mengatasi pola pikir yang sempit dalam menerima ilmu pengetahuan.