Perdebatan terkait nasab Habaib Ba’alawi
belakangan ini menyoroti pola berfikir dan pendekatan pemahaman ilmu di
Indonesia, khususnya di kalangan Islam tradisional. Baik di antara masyarakat
awam maupun kalangan yang dihormati sebagai ulama, sebagian masih cenderung
mengedepankan individu dibandingkan dengan substansi ilmunya. Pengkultusan
terhadap figur ulama terdahulu pun masih kerap terjadi. Akibatnya, saat ulama
kontemporer melakukan kajian atau mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan
pendapat ulama sebelumnya, seringkali timbul pertanyaan 'Apakah Anda merasa
lebih berpengetahuan daripada Syech Nawawi al Bantani?'
Perdebatan yang timbul seringkali memusatkan
perhatian pada identitas individu ulama yang dikultuskan, daripada pada
substansi objek yang sedang dibahas atau dikaji. Fenomena ini tidak hanya
terjadi di kalangan masyarakat awam, santri, atau para ulama yang diakui.
Pengkultusan ini cenderung menimbulkan pola
pikir yang sempit, yang membatasi daya berpikir positip dan progresif. Padahal pada dasarnya ilmu pengetahuan terus
berkembang dan jika pola pikir seperti itu tetap di pegang maka akan terjadi
kemandegan ilmu pengetahuan, sehingga kalimat yang mengatakan bahwa “hilangnya
ilmu di sebabkan karena meninggalnya ulama” akan benar-benar terjadi. Bayangkan jika hal tersebut terjadi pada
lingkungan scientist, jika Albert
Einstein menyampaikan teori relativitas yang berbeda dengan Sir Isaac Newton,
lalu para ulama scientist berkata “memangnya siapa kamu? Apa kamu lebih
berpengetahuan dari Newton?” tentu ilmu
Fisika tidak akan berkembang seperti sekarang.
Bahwa hilangnya ilmu karena di wafatkannya para Ulama justru menjadi
peringatan bagi kita bahwa jika kita mengkultuskan individu dan bukan subtansi
keilmuannya maka niscaya ilmu akan stagnan dan mungkin akan habis.
Pengkultusan semacam ini cenderung menimbulkan
paradigma yang terbatas, yang menghambat kemampuan untuk berpikir secara
positif dan progresif. Padahal, realitasnya ilmu pengetahuan terus berkembang,
dan apabila pola pikir yang sempit itu dipertahankan, kemungkinan terjadi
stagnasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ungkapan yang menyatakan
'kehilangan ilmu karena kematian ulama' bisa menjadi lebih nyata. Bayangkan
jika paradigma semacam itu diterapkan pada lingkungan ilmuwan. Jika Albert
Einstein, misalnya, mempresentasikan teori relativitas yang berbeda dengan Sir
Isaac Newton, dan para ilmuwan bertanya, 'Siapakah Anda? Apakah Anda lebih
berpengetahuan daripada Newton?' Tentu saja, ilmu Fisika tidak akan berkembang
sejauh ini. Kehilangan ilmu akibat meninggalnya ulama seharusnya menjadi
peringatan bagi kita. Jika kita terus mengkultuskan individu dibandingkan
substansi keilmuannya, bisa dipastikan bahwa ilmu akan terhenti dan bahkan
mungkin habis.
Pola pikir yang sempit dalam menerima ilmu
pengetahuan di masyarakat kita mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:
1.
Tradisi Kultural: Adanya warisan budaya atau
tradisi yang menekankan untuk tidak mempertanyakan otoritas, sehingga orang
cenderung mengikuti arahan tanpa melakukan analisis atau pemikiran kritis
terhadap informasi yang diterima.
2.
Kurangnya Pendidikan Pemikiran
Kritis: Sistem
pendidikan yang tidak memperhatikan pengembangan keterampilan berpikir kritis
dalam menyikapi informasi, lebih mengarah pada penghafalan tanpa memahami atau
menilai secara objektif.
3.
Pengaruh Otoritas Agama: Kepercayaan yang kuat terhadap
ulama atau figur agama tertentu bisa mengarah pada pengkultusan, membuat
masyarakat merasa takut untuk berfikir atau menentang pendapat yang dianggap
otoritatif.
4.
Ketakutan akan Kesalahan: Kultur
yang memojokkan kesalahan atau merasa takut salah dalam berpikir sehingga masyarakat lebih memilih
untuk mengikuti apa yang sudah diberitahukan daripada mempertanyakan atau
berpikir secara mandiri.
5.
Kurangnya Akses Pendidikan dan
Informasi yang Baik:
Terutama di daerah pedesaan atau yang sulit dijangkau, masyarakat tidak
memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan atau informasi yang dapat
memperluas wawasan dan pemahaman mereka.
6.
Kultur Konspirasi dan Fitnah: Adanya kecenderungan mendukung
teori konspirasi atau fitnah sebagai penjelasan sederhana atas masalah
kompleks, tanpa pertimbangan ilmiah yang kuat.
Mendorong pemikiran kritis, meningkatkan akses
terhadap pendidikan dan informasi yang baik, serta memberikan kesempatan untuk
bertanya dan mempertanyakan tanpa rasa takut adalah langkah awal dalam
mengatasi pola pikir yang sempit dalam menerima ilmu pengetahuan.