Pada Juli 1888, Cilegon berada
di ambang pemberontakan. Para haji, guru agama, dan petani, yang selama ini
tertindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, memutuskan untuk melawan. Suasana
di desa-desa penuh ketegangan. Di tengah malam, bisikan-bisikan tentang rencana
pemberontakan menyebar di kalangan penduduk.
Haji Ismail, seorang pemimpin
kharismatik dan guru agama, menjadi tokoh sentral dalam gerakan ini. Di setiap
majelisnya, Haji Ismail menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan keadilan.
Bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Kiai Sanusi dan Haji Mansur, mereka
merencanakan pemberontakan yang matang.
Pada malam yang telah
ditentukan, sekitar seratus orang berkumpul di rumah Haji Ismail. Mereka
mendengarkan pidato terakhir dari sang pemimpin. “Saudara-saudara, kita telah
lama hidup dalam penindasan. Hari ini, kita akan menuntut keadilan. Allah
bersama kita!” teriaknya penuh semangat. Semua orang merespons dengan pekik
takbir yang menggema di seluruh desa.
Keesokan paginya,
pemberontakan meletus. Para petani yang bersenjatakan senjata seadanya
menyerang pos-pos Belanda. Mereka menembus barisan tentara kolonial dengan
keberanian yang luar biasa. Namun, persenjataan dan pengalaman militer Belanda
jauh lebih unggul. Pertempuran berlangsung sengit dan memakan banyak korban di
kedua belah pihak.
Haji Ismail dan rekan-rekannya
terus memimpin serangan, meski tahu peluang mereka tipis. Semangat juang mereka
membuat pasukan Belanda kewalahan. Tetapi akhirnya, kekuatan kolonial berhasil
memukul mundur para pemberontak. Puluhan orang tewas, dan banyak yang
ditangkap, termasuk Haji Ismail.
Malam itu, Cilegon kembali
sunyi. Namun, di penjara kolonial, Haji Ismail dan rekan-rekannya merasakan
ketidakpastian. Mereka tahu nasib mereka tidak akan berakhir baik. Namun,
mereka tetap tegar, berdoa, dan menguatkan satu sama lain.
Pagi itu, keputusan hukuman
dibacakan. Haji Ismail, Kiai Sanusi, dan Haji Mansur dijatuhi hukuman mati
dengan cara digantung. Berita ini menyebar cepat dan menimbulkan kegemparan di
kalangan penduduk. Rasa takut bercampur dengan kemarahan.
Hari eksekusi tiba. Sebuah
tiang gantungan didirikan di tengah alun-alun kota. Penduduk berkumpul, dipaksa
menyaksikan akhir dari perjuangan para pemimpin mereka. Matahari terbit dengan
lambat, seolah enggan menyaksikan tragedi yang akan terjadi.
Ketika Haji Ismail dibawa ke
tiang gantungan, dia tampak tenang. Dengan tatapan penuh keyakinan, dia menatap
penduduk yang hadir. “Jangan pernah takut, saudara-saudaraku. Keadilan Allah
pasti akan datang,” katanya dengan suara yang menggema.
Tali gantung dipasangkan di
lehernya. Haji Ismail memejamkan mata, berdoa untuk terakhir kalinya. Saat tali
itu ditarik, teriakan histeris pecah dari kerumunan. Namun, di antara tangis
dan teriakan, ada juga suara takbir yang tetap menggema, menandakan bahwa
semangat perlawanan tidak pernah padam.
Haji Ismail dan rekan-rekannya
telah tiada, namun keberanian mereka menginspirasi banyak orang. Pemberontakan
mungkin telah dipadamkan, tapi benih-benih perlawanan terus tumbuh di hati
masyarakat Banten. Sejarah mencatat bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia,
menjadi simbol keberanian melawan penindasan.
Hingga hari ini, cerita tentang Geger Cilegon tetap hidup, mengingatkan kita akan keberanian mereka yang berani menantang ketidakadilan meski harus membayar dengan nyawa. Akhir yang dramatis dari Haji Ismail dan rekan-rekannya menjadi pengingat abadi bahwa perjuangan untuk keadilan dan kebebasan selalu layak diperjuangkan.