Total Pageviews

Thursday, 27 June 2024

Cilegon, 1888

 

Pada Juli 1888, Cilegon berada di ambang pemberontakan. Para haji, guru agama, dan petani, yang selama ini tertindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, memutuskan untuk melawan. Suasana di desa-desa penuh ketegangan. Di tengah malam, bisikan-bisikan tentang rencana pemberontakan menyebar di kalangan penduduk.

 

Haji Ismail, seorang pemimpin kharismatik dan guru agama, menjadi tokoh sentral dalam gerakan ini. Di setiap majelisnya, Haji Ismail menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan keadilan. Bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Kiai Sanusi dan Haji Mansur, mereka merencanakan pemberontakan yang matang.

 

Pada malam yang telah ditentukan, sekitar seratus orang berkumpul di rumah Haji Ismail. Mereka mendengarkan pidato terakhir dari sang pemimpin. “Saudara-saudara, kita telah lama hidup dalam penindasan. Hari ini, kita akan menuntut keadilan. Allah bersama kita!” teriaknya penuh semangat. Semua orang merespons dengan pekik takbir yang menggema di seluruh desa.

 

Keesokan paginya, pemberontakan meletus. Para petani yang bersenjatakan senjata seadanya menyerang pos-pos Belanda. Mereka menembus barisan tentara kolonial dengan keberanian yang luar biasa. Namun, persenjataan dan pengalaman militer Belanda jauh lebih unggul. Pertempuran berlangsung sengit dan memakan banyak korban di kedua belah pihak.

 

Haji Ismail dan rekan-rekannya terus memimpin serangan, meski tahu peluang mereka tipis. Semangat juang mereka membuat pasukan Belanda kewalahan. Tetapi akhirnya, kekuatan kolonial berhasil memukul mundur para pemberontak. Puluhan orang tewas, dan banyak yang ditangkap, termasuk Haji Ismail.

 

Malam itu, Cilegon kembali sunyi. Namun, di penjara kolonial, Haji Ismail dan rekan-rekannya merasakan ketidakpastian. Mereka tahu nasib mereka tidak akan berakhir baik. Namun, mereka tetap tegar, berdoa, dan menguatkan satu sama lain.

 

Pagi itu, keputusan hukuman dibacakan. Haji Ismail, Kiai Sanusi, dan Haji Mansur dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Berita ini menyebar cepat dan menimbulkan kegemparan di kalangan penduduk. Rasa takut bercampur dengan kemarahan.

 

Hari eksekusi tiba. Sebuah tiang gantungan didirikan di tengah alun-alun kota. Penduduk berkumpul, dipaksa menyaksikan akhir dari perjuangan para pemimpin mereka. Matahari terbit dengan lambat, seolah enggan menyaksikan tragedi yang akan terjadi.

 

Ketika Haji Ismail dibawa ke tiang gantungan, dia tampak tenang. Dengan tatapan penuh keyakinan, dia menatap penduduk yang hadir. “Jangan pernah takut, saudara-saudaraku. Keadilan Allah pasti akan datang,” katanya dengan suara yang menggema.

 

Tali gantung dipasangkan di lehernya. Haji Ismail memejamkan mata, berdoa untuk terakhir kalinya. Saat tali itu ditarik, teriakan histeris pecah dari kerumunan. Namun, di antara tangis dan teriakan, ada juga suara takbir yang tetap menggema, menandakan bahwa semangat perlawanan tidak pernah padam.

 

Haji Ismail dan rekan-rekannya telah tiada, namun keberanian mereka menginspirasi banyak orang. Pemberontakan mungkin telah dipadamkan, tapi benih-benih perlawanan terus tumbuh di hati masyarakat Banten. Sejarah mencatat bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia, menjadi simbol keberanian melawan penindasan.

 

Hingga hari ini, cerita tentang Geger Cilegon tetap hidup, mengingatkan kita akan keberanian mereka yang berani menantang ketidakadilan meski harus membayar dengan nyawa. Akhir yang dramatis dari Haji Ismail dan rekan-rekannya menjadi pengingat abadi bahwa perjuangan untuk keadilan dan kebebasan selalu layak diperjuangkan.

No comments:

Post a Comment