Jumlah pemeluk Islam di Indonesia sangatlah
besar, menjadikannya sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Bahkan, jika kita bandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia memiliki
jumlah sarjana agama Islam yang begitu signifikan, melebihi program studi lain
seperti Ekonomi, Hukum, atau Teknik. Namun, meskipun jumlah sarjana agama
sangat besar, kontribusi nyata mereka terhadap peradaban bangsa, khususnya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masih tergolong kecil.
Salah satu indikator paling mencolok adalah
tingginya angka korupsi di Indonesia. Sebagai bangsa yang mayoritas Muslim,
kita seharusnya mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh
agama Islam, terutama dalam hal amanah, kejujuran, dan tanggung jawab. Ironisnya,
meskipun banyak dari pejabat publik dan tokoh masyarakat yang berlatar belakang
pendidikan agama, mereka justru terlibat dalam kasus-kasus korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, ilmu agama adalah ilmu praktek, yaitu ilmu
yang tidak hanya dipelajari secara teoretis, tetapi diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
1. Islam sebagai Ilmu Praktek:
Ilmu agama Islam adalah ilmu yang mengajarkan
bagaimana seorang Muslim seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai umat yang diajarkan untuk menjalankan nilai-nilai kejujuran, keadilan,
kesederhanaan, serta kasih sayang, umat Islam di Indonesia seharusnya menjadi
cerminan nyata dari ajaran-ajaran ini. Namun, fakta di lapangan menunjukkan
adanya disonansi atau ketidakselarasan antara jumlah sarjana agama yang besar
dengan perilaku sosial, politik, dan pemerintahan yang ada.
Keberadaan banyaknya sarjana agama Islam
seharusnya menciptakan transformasi dalam kehidupan bangsa, di mana nafas
ajaran Islam tampak dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Praktik korupsi yang meluas, etika
politik yang merosot, hingga perilaku masyarakat yang jauh dari moralitas yang
diajarkan Islam, menimbulkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan
agama kita?
2. Hilangnya Dialektika dalam Tradisi Ulama:
Salah satu faktor penyebab lemahnya kontribusi
sarjana agama terhadap peradaban adalah hilangnya dialektika dalam tradisi
ulama. Di masa keemasan Islam, ulama dan cendekiawan Islam terlibat aktif dalam
diskusi, debat, dan pengembangan pemikiran yang kritis. Pemikiran Islam tidak
hanya terbatas pada masalah-masalah fiqih (hukum) semata, tetapi juga mencakup
sains, filsafat, politik, dan sosial. Sayangnya, tradisi diskusi kritis atau
dialektika ini mulai memudar di banyak institusi pendidikan Islam.
Ilmu agama saat ini cenderung diajarkan secara
dogmatis dan tekstual, tanpa memberikan ruang bagi pengembangan pemikiran
kritis. Para sarjana agama dilatih untuk memahami teks-teks agama secara kaku, tanpa
mendorong mereka untuk menganalisis secara mendalam relevansi ajaran Islam
terhadap tantangan zaman modern. Hal ini berdampak pada terbentuknya generasi
yang sulit menyesuaikan ajaran agama dengan realitas sosial dan politik yang
ada.
3. Pentingnya Revitalisasi Pemikiran Kritis
dalam Pendidikan Agama:
Agar pendidikan agama Islam dapat memberikan
kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban bangsa, sangat penting untuk
merevitalisasi pemikiran kritis dalam pendidikan agama. Institusi pendidikan
Islam harus mendorong para siswa dan mahasiswa untuk berpikir secara kritis,
tidak hanya terhadap teks-teks agama tetapi juga terhadap realitas sosial yang
ada di sekitarnya.
Pemikiran kritis ini dapat membantu umat Islam
untuk lebih memahami relevansi ajaran Islam dalam konteks modern, termasuk
dalam hal etika politik, pemerintahan, dan masyarakat. Dengan demikian, ilmu
agama dapat menjadi landasan yang kokoh dalam menciptakan masyarakat yang adil,
jujur, dan bermartabat.
4. Memperkuat Peran Sarjana Agama dalam
Masyarakat:
Sarjana agama seharusnya tidak hanya berperan
sebagai pendakwah atau pengajar, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial.
Mereka harus berani terlibat dalam isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan,
serta menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan publik.
Dengan memperkuat peran sarjana agama di masyarakat, kita bisa berharap terjadi
pergeseran positif dalam perilaku dan kebijakan publik.
Kesimpulan:
Jumlah sarjana agama yang besar di Indonesia
seharusnya memberikan kontribusi signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara ilmu
agama yang diajarkan dan perilaku nyata di masyarakat. Hilangnya tradisi
dialektika dan pemikiran kritis dalam pendidikan agama menjadi salah satu
faktor utama penyebab lemahnya kontribusi ini. Oleh karena itu, penting bagi
kita untuk merevitalisasi tradisi pemikiran kritis dalam pendidikan agama,
sehingga ajaran Islam dapat lebih relevan dan memberikan dampak nyata dalam
kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan.