Total Pageviews

Wednesday, 11 September 2024

Dialektika dalam Tradisi Ulama Islam yang Hilang

 

Jumlah pemeluk Islam di Indonesia sangatlah besar, menjadikannya sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Bahkan, jika kita bandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia memiliki jumlah sarjana agama Islam yang begitu signifikan, melebihi program studi lain seperti Ekonomi, Hukum, atau Teknik. Namun, meskipun jumlah sarjana agama sangat besar, kontribusi nyata mereka terhadap peradaban bangsa, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masih tergolong kecil.

 

Salah satu indikator paling mencolok adalah tingginya angka korupsi di Indonesia. Sebagai bangsa yang mayoritas Muslim, kita seharusnya mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agama Islam, terutama dalam hal amanah, kejujuran, dan tanggung jawab. Ironisnya, meskipun banyak dari pejabat publik dan tokoh masyarakat yang berlatar belakang pendidikan agama, mereka justru terlibat dalam kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, ilmu agama adalah ilmu praktek, yaitu ilmu yang tidak hanya dipelajari secara teoretis, tetapi diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

1. Islam sebagai Ilmu Praktek:

 

Ilmu agama Islam adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana seorang Muslim seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai umat yang diajarkan untuk menjalankan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesederhanaan, serta kasih sayang, umat Islam di Indonesia seharusnya menjadi cerminan nyata dari ajaran-ajaran ini. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya disonansi atau ketidakselarasan antara jumlah sarjana agama yang besar dengan perilaku sosial, politik, dan pemerintahan yang ada.

 

Keberadaan banyaknya sarjana agama Islam seharusnya menciptakan transformasi dalam kehidupan bangsa, di mana nafas ajaran Islam tampak dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Praktik korupsi yang meluas, etika politik yang merosot, hingga perilaku masyarakat yang jauh dari moralitas yang diajarkan Islam, menimbulkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan agama kita?

 

 

2. Hilangnya Dialektika dalam Tradisi Ulama:

 

Salah satu faktor penyebab lemahnya kontribusi sarjana agama terhadap peradaban adalah hilangnya dialektika dalam tradisi ulama. Di masa keemasan Islam, ulama dan cendekiawan Islam terlibat aktif dalam diskusi, debat, dan pengembangan pemikiran yang kritis. Pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada masalah-masalah fiqih (hukum) semata, tetapi juga mencakup sains, filsafat, politik, dan sosial. Sayangnya, tradisi diskusi kritis atau dialektika ini mulai memudar di banyak institusi pendidikan Islam.

 

Ilmu agama saat ini cenderung diajarkan secara dogmatis dan tekstual, tanpa memberikan ruang bagi pengembangan pemikiran kritis. Para sarjana agama dilatih untuk memahami teks-teks agama secara kaku, tanpa mendorong mereka untuk menganalisis secara mendalam relevansi ajaran Islam terhadap tantangan zaman modern. Hal ini berdampak pada terbentuknya generasi yang sulit menyesuaikan ajaran agama dengan realitas sosial dan politik yang ada.

 

3. Pentingnya Revitalisasi Pemikiran Kritis dalam Pendidikan Agama:

 

Agar pendidikan agama Islam dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan peradaban bangsa, sangat penting untuk merevitalisasi pemikiran kritis dalam pendidikan agama. Institusi pendidikan Islam harus mendorong para siswa dan mahasiswa untuk berpikir secara kritis, tidak hanya terhadap teks-teks agama tetapi juga terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya.

 

Pemikiran kritis ini dapat membantu umat Islam untuk lebih memahami relevansi ajaran Islam dalam konteks modern, termasuk dalam hal etika politik, pemerintahan, dan masyarakat. Dengan demikian, ilmu agama dapat menjadi landasan yang kokoh dalam menciptakan masyarakat yang adil, jujur, dan bermartabat.

 

4. Memperkuat Peran Sarjana Agama dalam Masyarakat:

 

Sarjana agama seharusnya tidak hanya berperan sebagai pendakwah atau pengajar, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Mereka harus berani terlibat dalam isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan, serta menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan publik. Dengan memperkuat peran sarjana agama di masyarakat, kita bisa berharap terjadi pergeseran positif dalam perilaku dan kebijakan publik.

 

Kesimpulan:

 

Jumlah sarjana agama yang besar di Indonesia seharusnya memberikan kontribusi signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara ilmu agama yang diajarkan dan perilaku nyata di masyarakat. Hilangnya tradisi dialektika dan pemikiran kritis dalam pendidikan agama menjadi salah satu faktor utama penyebab lemahnya kontribusi ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merevitalisasi tradisi pemikiran kritis dalam pendidikan agama, sehingga ajaran Islam dapat lebih relevan dan memberikan dampak nyata dalam kehidupan sosial, politik, dan pemerintahan.

No comments:

Post a Comment